Suasana Ramadhan Di Gaza Palestina

Spread the love

Palestine, Redaksinews.ID – Bulan suci Ramadhan, jalanan Kota Tua Yerusalem Timur lebih sepi dari biasanya. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tidak ada lampu Ramadhan yang berjejer meriah di gang-gang sempit.

Suasananya suram, dirundung ketidakpastian tentang bagaimana bulan suci puasa akan berlangsung.

“Kami tidak merasakan Ramadhan,” kata Um Ammar, sambil berjalan di sepanjang Jalan Al-Wad, salah satu jalan raya utama kota kuno tersebut.

Perang di Gaza ada dalam pikiran semua orang, katanya. Menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas, sekitar 31.000 orang telah terbunuh dalam konflik itu, dan lembaga bantuan memperingatkan akan terjadinya kelaparan.

Perang di Gaza dipicu oleh serangan Hamas ke Israel 7 Oktober tahun lalu, yang menewaskan lebih dari 1.200 orang. Hamas juga menculik lebih dari 200 orang ke Gaza. Hamas dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh AS, Uni Eropa, Jerman dan beberapa negara lain.

“Kami akan berbuka puasa di sini. Tapi banyak orang yang tidak bisa makan karena tidak ada makanan di Gaza,” jelas Ammar merujuk pada makanan berbuka puasa saat matahari terbenam.

“Ketika orang-orang duduk mengelilingi meja, Ramadhan macam apa yang kita bicarakan? Ini bukan Ramadhan, ini lebih terasa seperti kebangkitan untuk menyampaikan belasungkawa,” katanya.

Sentimen Um Ammar juga diamini oleh orang lain di lingkungan tersebut, seperti Hashem Taha yang menjalankan toko rempah-rempah di Jalan Al-Wad.

“Yerusalem merasa sangat sedih, masyarakat di Gaza adalah rakyat kami, mereka adalah keluarga, dan kami sangat terdampak dengan apa yang kami lihat di sana,” kata Taha.

Selama bertahun-tahun, para pemilik toko dan penduduk di lingkungan ini telah menyaksikan ketegangan dan kekerasan antara polisi perbatasan Israel dan penduduk Palestina, namun sebagian besar berharap bahwa ketenangan di Yerusalem akan terjadi pada bulan Ramadhan ini.Di dekat toko Taha, polisi perbatasan Israel menghentikan pemuda Palestina untuk memeriksa identitas dan barang-barang mereka.

“Mereka telah mempersulit keadaan dan selalu menekan orang,” kata Taha.

Tahun ini, perang di Gaza, memberikan bayangan gelap pada bulan Ramadhan. Di masa lalu, ketegangan berpusat di sekitar kompleks Masjid Al-Aqsa, yang dikenal oleh umat Islam sebagai Haram al-Sharif atau Tempat Suci, dan bagi orang Yahudi sebagai Temple Mount.

Awal Ramadhan juga telah ditetapkan sebagai tenggat waktu bagi upaya mediator AS, Qatar, dan Mesir baru-baru ini untuk menengahi kesepakatan sandera baru dan gencatan senjata sementara antara Israel dan Hamas. Namun, kesepakatan untuk membebaskan 134 sandera Israel yang diyakini masih ditahan oleh Hamas masih belum tercapai.

Sementara itu, Tamer Abu Kwaik paling mengkhawatirkan anak-anaknya. Dia dan keluarganya kini tinggal di tenda di Rafah, setelah melakukan perjalanan dari Gaza utara. Ramadhan, kata Abu Kwaik.

“Pada masa sebelum perang, kami biasa menciptakan suasana yang indah untuk anak-anak. Namun sekarang, di tengah perang, kami melakukan yang terbaik untuk membuat mereka tersenyum. Namun, saat saya mendekorasi tenda, saya menyadari hal itu tidak akan terjadi. Tidak akan semeriah dulu,” ujarnya melalui pesan WhatsApp.

Ketidakpastian mengenai apa yang akan terjadi sangat sulit untuk diatasi.

“Kami berusaha mengatasi krisis ini secara psikologis, berharap perang akan segera berakhir dan akan ada gencatan senjata sehingga kami dapat kembali ke rumah,” kata Abu Kwaik.

“Rumah saya sendiri telah dihancurkan; sebagian dari sebuah bangunan telah hancur total. Saya sering bertanya-tanya apa yang akan saya lakukan ketika perang berakhir.” terangnya.

Jika kesepakatan baru mengenai penyanderaan tidak tercapai, Israel menyatakan akan memperluas operasi daratnya hingga ke Rafah, tempat sekitar 1,4 juta pengungsi Palestina saat ini mencari perlindungan.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah menegaskan bahwa “IDF (Pasukan Pertahanan Israel) akan terus beroperasi melawan semua batalion Hamas di seluruh Jalur Gaza, dan itu termasuk Rafah, benteng terakhir Hamas. Siapa pun yang menyuruh kami untuk tidak beroperasi di Rafah berarti menyuruh kami kalah perang. Itu tidak akan terjadi.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *