Jakarta, Redaksinews.id – (28/10) Pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menjanjikan menaikkan batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dan menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk menaikkan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio.
Namun, janji kebijakan yang tertuang dalam dokumen visi, misi, dan program kerja berjudul “Bersama Indonesia Maju” itu mendapat kritikan dari pakar dan praktisi pajak Indonesia. Rencana kebijakan itu Prabowo-Gibran tuangkan dalam program kerja reformasi tata kelola pemerintahan.
“Menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan menurunkan tarif PPh 21 untuk mendorong aktivitas ekonomi dalam rangka menaikkan rasio pajak (tax ratio),” kata Pravowo-Gibran dalam dokumen visi-misinya, dikutip Jumat (27/10/2023).
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar. Ia mengatakan, visi misi Prabowo-Gibran ini tak sejalan dengan apa yang pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi lakukan, yakni ingin menaikan kontribusi PPh 21.
“Makanya, kemarin dalam UU HPP pemerintah menaikkan tarif PPh 21 bagi orang kaya lapisan tarif tertinggi, lalu ada pajak atas natura. Semua itu untuk meningkatkan kontribusi penerimaan PPh 21 OP (orang pribadi),” ujar Fajry.
Dalam struktur penerimaan pajak yang ideal, ia mengingatkan, penerimaan pajaknya bergantung pada penerimaan PPh 21. Dengan begitu, ia menganggap, visi misi Prabowo-Gibran dengan menaikkan batas PTKP dan menurunkan tarif PPh malah akan menurunkan tax ratio.
“Dan poin yang paling penting, kontribusi PPh 21 OP kita dalam penerimaan perpajakan masih kecil dibandingkan dengan negara-negara OECD. Harusnya, PPh 21 OP yang menjadi tumpuan penerimaan pajak,” tuturnya.
Ia pun menekankan, peningkatan PTKP tak hanya dinikmati kelompok berpendapatan rendah tapi juga kelompok berpendapatan tinggi. Kenaikan PTKP tak hanya dinikmati kelompok layer rendah tapi juga tinggi dan PTKP Indonesia menurutnya salah satu tertinggi di ASEAN, sebagaimana yang juga pernah disampaikan Sri Mulyani.
“Jadi jelas ngawur. Kalau dibilang rencana kebijakan ini progresif atau pro-rakyat kecil maka tak tepat. Yang kaya malah paling diuntungkan. Belum lagi kalau kita masukan aspek regional, beberapa daerah punya UMR yg rendah. Kalau dinaikkan lagi, kasihan daerah-daerah yang UMR-nya kecil, bisa-bisa kehilangan banyak penerimaan,” tegas Fajry. (Red)
Leave a Reply