Opini – Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan yang terus mengancam masyarakat, terutama kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan pekerja migran.
Meskipun TPPO bisa disebabkan oleh banyak faktor seperti lemahnya penegakan hukum, rendahnya pendidikan dan ketimpangan sosial, namun faktor ekonomi merupakan penyebab paling dominan yang membuat seseorang rentan menjadi korban perdagangan manusia.
Kemiskinan dan keterbatasan lapangan pekerjaan di daerah-daerah tertinggal mendorong masyarakat untuk mencari peluang kerja ke luar daerah, bahkan ke luar negeri, meski melalui jalur tidak resmi.
Dalam kondisi ekonomi yang terdesak, tawaran pekerjaan dengan gaji tinggi dari perekrut ilegal terlihat sangat menggiurkan. Banyak korban yang akhirnya terjebak dalam situasi eksploitasi, seperti kerja paksa, perbudakan modern atau eksploitasi seksual, karena mereka tidak memiliki pilihan ekonomi lain.
Selain itu, ketimpangan ekonomi antarwilayah memperbesar risiko TPPO. Masyarakat dari daerah dengan tingkat kesejahteraan rendah cenderung lebih mudah diperdaya karena minimnya akses informasi, pendidikan, dan perlindungan hukum. Hal ini diperparah dengan lemahnya kontrol terhadap agen penyalur tenaga kerja ilegal dan minimnya upaya preventif dari pemerintah di tingkat akar rumput.
Oleh karena itu, penanggulangan TPPO tidak bisa hanya bertumpu pada penegakan hukum semata. Perlu ada pendekatan struktural yang menyentuh akar masalah, yakni meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Pemerintah perlu memperluas akses pekerjaan yang layak, memperkuat program pemberdayaan ekonomi lokal, serta memastikan bahwa masyarakat memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk menolak tawaran kerja yang mencurigakan.
Dengan memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat, terutama di daerah-daerah sumber korban, maka peluang terjadinya TPPO akan semakin kecil. Pemberdayaan ekonomi bukan hanya bentuk perlindungan, tetapi juga langkah pencegahan yang paling efektif untuk memutus mata rantai perdagangan orang.
Selain itu, Maraknya pada kasus tersebut disebabkan lemahnya pengawasan, kurangnya edukasi, serta keterlibatan oknum-oknum tertentu justru memperkuat jaringan kejahatan itu.
TPPO di Indonesia bukan sekadar soal “jumlah” tapi refleksi masalah struktural. Ketidaksetaraan, ketergantungan ekonomi, regulasi yang belum matang dan teknologi yang belum sepenuhnya digunakan untuk pencegahan.
Langkah prioritas adalah integrasi data, fokus pada akar penyebab (ekonomi & edukasi), hukum yang tegas terhadap mafia TPPO, serta perlindungan korban yang komprehensif.
Sementara, BP2MI Banten melaporkan telah mencegah 1.919 orang calon pekerja migran ilegal dari Banten yang hendak berangkat melalui Bandara Soekarno–Hatta pada periode Januari–Juni 2024.
Adapun Variasi Modus Eksploitasi itu dari kasus TKW ilegal (visa turis), prostitusi lokal, hingga scam online menempatkan Banten dalam kategori “hotspot” TPPO multi-dimensi.
Selain itu, koneksi jaringan global dalam keterlibatan sponsor WNA menunjukkan modus transnasional yang lebih kompleks, bukan hanya lokal–nasional semata.
Dalam hal itu, pemerintah harus memberikan Penegakan Hukum Tegas, Perlu investigasi menyeluruh hingga sponsor dan jaringan internasional. Hukuman tidak sekadar simbolis, tetapi juga memutus aliran modal pelaku.
Kemudian, Pendampingan Korban terpadu harus mendapat akses pemulihan psikologis, pendampingan hukum, dan pelatihan reintegrasi agar benar‑benar bisa memulai hidup baru.
Selanjutnya berkolaborasi Lintas Sektor seperti, sinergi yang kuat antara BP2MI, Kemenaker, Kemlu, Kemenkominfo, MUI, tokoh masyarakat, serta LSM lokal diperlukan untuk membangun sistem pencegahan, pelaporan, dan perlindungan terpadu.
Penulis: Wisnu Hadi Pangestu/FH Unpam Serang/Semester 6
Leave a Reply