Kejadian Pemagaran Laut dan Hak Atas Tanah di Pesisir Utara Tangerang, Pemerintah Provinsi Banten Diminta Bertanggung Jawab

Spread the love

Tangerang, 23 Januari 2025. Kegiatan pemagaran laut yang melibatkan penerbitan 263 bidang hak atas tanah di atas permukaan laut di pesisir utara Kabupaten Tangerang, khususnya di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, tengah memicu keprihatinan dan kontroversi di kalangan masyarakat. Permasalahan ini berpotensi merusak ekosistem pesisir dan bertentangan dengan regulasi yang ada, serta mendesak agar Pemerintah Daerah Provinsi Banten memberikan penjelasan yang transparan dan mempertanggungjawabkan kebijakan tersebut.Dalam konteks ini, Perda No.13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tangerang, yang diperbaharui dengan Perda No.9 Tahun 2020, secara tegas telah mengatur dan memetakan garis sempadan pantai. Peta yang diterbitkan dalam Perda ini dapat diakses oleh masyarakat melalui aplikasi Gistaru ATR/BPN dan Gistaru Provinsi Banten. Berdasarkan peta pola ruang yang berlaku, kegiatan pemagaran laut dan terbitnya hak atas tanah yang terjadi di wilayah tersebut jelas melanggar batas yang sudah ditentukan, yang menjadikan izin untuk kegiatan ini tidak sah secara hukum. Pemerintah Kabupaten Tangerang, dengan demikian, tidak memiliki dasar hukum untuk mengeluarkan izin terkait pemagaran laut tersebut.Namun, masalah menjadi lebih rumit setelah Pemerintah Provinsi Banten mengeluarkan Perda No.1 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten 2023-2043. Perda ini tidak hanya mencabut Perda No.5 Tahun 2017, tetapi juga menghadirkan ketidaksesuaian dalam penetapan garis sempadan pantai (GSP) antara pola ruang darat dan pola ruang laut. Perbedaan garis sempadan pantai yang tercantum dalam Perda Provinsi Banten No.1 Tahun 2023 ini berpotensi menjadi celah hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan pemagaran laut, yang menimbulkan keraguan tentang keabsahan dasar hukum yang digunakan.

Cecep Solihin, Ketua Justicia Masyarakat Banten, menilai bahwa kebijakan yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Banten ini seolah memberikan “lampu hijau” bagi kegiatan yang sebelumnya tidak memiliki dasar hukum yang jelas. “Perbedaan garis sempadan pantai dalam dua pola ruang yang diterbitkan dalam satu produk hukum yang sama, serta penerbitan Perda yang mencabut aturan sebelumnya, menunjukkan adanya ketidaksesuaian yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Kami meminta klarifikasi mendalam dari Pemerintah Provinsi Banten, khususnya Pj. Gubernur Al Muktabar pada tahun 2023, mengenai dasar hukum yang digunakan untuk menerbitkan kebijakan ini,” ungkap Cecep Solihin.Cecep Solihin menegaskan bahwa permasalahan ini tidak bisa dianggap enteng. Dengan adanya kebijakan yang saling bertentangan dan pengeluaran izin yang tidak sah, kami menganggap bahwa pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban adalah Pemerintah Daerah Provinsi Banten, terutama Pj. Gubernur Banten pada tahun 2023. Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang tidak dapat disalahkan dalam kasus ini, karena mereka tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin yang bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi.

Cecep Solihin mendesak agar Pemerintah Daerah Provinsi Banten segera melakukan evaluasi terhadap kebijakan ini, serta memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil mengutamakan kepentingan masyarakat, keberlanjutan lingkungan, dan kepatuhan terhadap peraturan yang ada. Publik diimbau untuk terus mengawasi dan mendesak transparansi dari Pemerintah Provinsi Banten guna menyelesaikan persoalan ini secara adil.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *